IP Man. Lagi-lagi Ip Man.
Baru Februari kemarin bioskop kita disuguhi kisah hidup sang jago silat aliran Wing Chun, Ip Man lewat film karya Wong Kar Wai, The Grandmaster.
Baru Februari kemarin bioskop kita disuguhi kisah hidup sang jago silat aliran Wing Chun, Ip Man lewat film karya Wong Kar Wai, The Grandmaster.
Dimulai dengan Ip Man yang dibintangi Donnie Yen dan dibesut Wilson Yip yang jadi film terlaris di Hong Kong tahun 2008.
Kemudian lahir Ip Man 2 (2010) juga dibesut Wilson Yip, Ip Man: The Legend is Born (2010) karya Herman Yau, dan The Grandmaster (2012).
Herman Yau melanjutkan kisah Ip Man versinya dengan The Final Fight. Jika The Legend is Born berkisah tentang Ip Man muda saat mulai belajar kungfu aliran Wing Chun, The Final Fight menceritakan sang master kungfu di usia paruh baya hingga senja.
Di awal film, kita bertemu Ip Man (Anthony Wong) saat usia paruh baya, memutuskan hijrah ke Hong Kong tahun 1949. Ip tinggal sendirian di Hong Kong, meninggalkan istri dan anak-anaknya di Foshan, provinsi Guangdong, China. Di Hong kong, Ip membuka perguruan kungfu Wing Chun di sebuah atap gedung. Seperti Ip Man 2 besutan Yip, The Final Fight banyak menggambarkan hubungan Ip dengan murid-muridnya.
Bedanya, Ip Man rasa Herman Yau ini mengambil tikungan yang lain. Ip Man rasa Yip mengambil kisah kungfu klasik yang pasti bakal disuka pecinta film kungfu: kisah jago kungfu mengalahkan lawan-lawannya.
Ip Man pertama dan kedua versi Yip mengangkat sentimen anti asing dan nasionalisme China. Yang pertama sang jagoan China berhasil mengalahkan Jepang. Di film kedua, sang jagoan China menaklukkan jago tinju bule.
Film Ip Man pertama versi Yau, The Legend is Born, masih menyuguhkan sentimen anti asing (baca: Jepang) dan nasionalisme China. Di film itu, Ip Man muda harus melawan saudara angkatnya yang teryata adalah mata-mata Jepang.
The Final Fight tak lagi menjual sentimen anti asing dan nasinalisme China. Filmnya malah menyuguhkan suasana nostalgia Hong Kong tahun 1950-an dan 1960-an. Perang antar perkumpulan silat, kemiskinan, serta polisi korup menjadi suguhan film ini.
Bahkan, meski dibubuhi kata "fight" di judul, adegan pertarungan di film ini terbilang minim. The Final Fight lebih pas disebut film drama. Film ini tak punya momen pertarungan yang bakal dikenang penonton usai meninggalkan bioskop seperti, misalnya, adegan duel di atas meja di film Ip Man 2.
Yang paling diingat dari film ini justru hubungan cinta Ip Man dengan seorang penyanyi panggung pinggir jalan nan jelita. Bagian yang paling menarik adalah drama antara murid yang menganggap guru mereka telah memilih wanita yang salah sebagai pendamping. Hubungan romantis sang guru dengan si wanita tak berlangsung dalam adegan mesra yang intens, cukup si wanita membawakan makan pada pria yang didambanya.
The Final Fight juga sekelumit menyajikan bagian Ip Man bertemu muridnya yang sudah jadi bintang film terkenal bernama Bruce Lee. Digambarkan, Ip tampak tak terlalu senang dengan Bruce Lee yang sudah tenar. Lee berniat memvideokan sang guru berlatih kungfu dengannya. Tapi, Ip menolak.
Di penghujung film, kita melihat Ip yang sudah renta direkam putranya sedang berlatih kungfu. Momen itu begitu berharga. Tak semata menjadi bukti keberadaan sang jago kungfu pada kita. Tapi juga akhirnya ayah dan putranya menjadi dekat—sesuatu yang tak terlihat sepanjang film.
Kemudian lahir Ip Man 2 (2010) juga dibesut Wilson Yip, Ip Man: The Legend is Born (2010) karya Herman Yau, dan The Grandmaster (2012).
Herman Yau melanjutkan kisah Ip Man versinya dengan The Final Fight. Jika The Legend is Born berkisah tentang Ip Man muda saat mulai belajar kungfu aliran Wing Chun, The Final Fight menceritakan sang master kungfu di usia paruh baya hingga senja.
Di awal film, kita bertemu Ip Man (Anthony Wong) saat usia paruh baya, memutuskan hijrah ke Hong Kong tahun 1949. Ip tinggal sendirian di Hong Kong, meninggalkan istri dan anak-anaknya di Foshan, provinsi Guangdong, China. Di Hong kong, Ip membuka perguruan kungfu Wing Chun di sebuah atap gedung. Seperti Ip Man 2 besutan Yip, The Final Fight banyak menggambarkan hubungan Ip dengan murid-muridnya.
Bedanya, Ip Man rasa Herman Yau ini mengambil tikungan yang lain. Ip Man rasa Yip mengambil kisah kungfu klasik yang pasti bakal disuka pecinta film kungfu: kisah jago kungfu mengalahkan lawan-lawannya.
Ip Man pertama dan kedua versi Yip mengangkat sentimen anti asing dan nasionalisme China. Yang pertama sang jagoan China berhasil mengalahkan Jepang. Di film kedua, sang jagoan China menaklukkan jago tinju bule.
Film Ip Man pertama versi Yau, The Legend is Born, masih menyuguhkan sentimen anti asing (baca: Jepang) dan nasionalisme China. Di film itu, Ip Man muda harus melawan saudara angkatnya yang teryata adalah mata-mata Jepang.
The Final Fight tak lagi menjual sentimen anti asing dan nasinalisme China. Filmnya malah menyuguhkan suasana nostalgia Hong Kong tahun 1950-an dan 1960-an. Perang antar perkumpulan silat, kemiskinan, serta polisi korup menjadi suguhan film ini.
Bahkan, meski dibubuhi kata "fight" di judul, adegan pertarungan di film ini terbilang minim. The Final Fight lebih pas disebut film drama. Film ini tak punya momen pertarungan yang bakal dikenang penonton usai meninggalkan bioskop seperti, misalnya, adegan duel di atas meja di film Ip Man 2.
Yang paling diingat dari film ini justru hubungan cinta Ip Man dengan seorang penyanyi panggung pinggir jalan nan jelita. Bagian yang paling menarik adalah drama antara murid yang menganggap guru mereka telah memilih wanita yang salah sebagai pendamping. Hubungan romantis sang guru dengan si wanita tak berlangsung dalam adegan mesra yang intens, cukup si wanita membawakan makan pada pria yang didambanya.
The Final Fight juga sekelumit menyajikan bagian Ip Man bertemu muridnya yang sudah jadi bintang film terkenal bernama Bruce Lee. Digambarkan, Ip tampak tak terlalu senang dengan Bruce Lee yang sudah tenar. Lee berniat memvideokan sang guru berlatih kungfu dengannya. Tapi, Ip menolak.
Di penghujung film, kita melihat Ip yang sudah renta direkam putranya sedang berlatih kungfu. Momen itu begitu berharga. Tak semata menjadi bukti keberadaan sang jago kungfu pada kita. Tapi juga akhirnya ayah dan putranya menjadi dekat—sesuatu yang tak terlihat sepanjang film.